Header Ads Widget

Menyikapi Inflasi di Bulan Suci

Bulan Ramadhan, bulan yang identik dengan kenaikan harga bahan pokok. Sebab, kenaikan kebutuhan masyarakat terhadap barang pokok lebih tinggi dari pada pasokan. Hal demikian seperti yang disampaikan oleh Lailiyah dan Siti Fitriyani dalam buku Teropong Indonesia Memahami Kondisi Aktual Perekonomian Indonesia bahwa “Inflasi menjadi salah satu permasalahan klasik dalam suatu perekonomian yang dapat mengakibatkan menurunnya pendapatan riil masyarakat yang secara berkelanjutan mempunyai dampak negatif dalam perekonomian makro”.

Secara garis besar, inflasi diartikan sebagai kenaikan harga secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Untuk mengukur tingkat inflasi, indikator yang sering digunakan adalah menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK). Dari waktu ke waktu, perubahan IHK menunjukkan pergerakan harga dari paket barang atau jasa yang dikonsumsi masyarakat. Penentuan barang dan jasa dalam IHK dilaksanakan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) yang dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH)

.Saat menjelang ramadhan, sejumlah harga komoditas pangan di pasar tradisional mulai merangkak naik. Harga barang pokok berpotensi naik seiring dengan tingginya kebutuhan pangan masyarakat mendekati lebaran. Seperti halnya yang terjadi di pasar Induk Kramat Jati, harga bahan-bahan pokok mulai naik diantaranya harga bawang merah, cabai merah keriting, cabai rawit dan daging ayam.

Sedangkan pada delapan hari menjelang Idul Fitri tahun ini, berdasarkan data dari PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategi) Nasional harga sejumlah bahan pangan mulai naik diantaranya beras, daging ayam, daging sapi, cabai merah, dan cabai rawit. Jika dibandingkan dengan satu hari  sebelumnya, kenaikan tertinggi terjadi pada cabai merah sebesar Rp 350 per kg, kemudian daging ayam dan cabai rawit sebesar Rp 150 per kg dan beras sebesar Rp 50 per kg. Sementara itu, harga gula pasir, minyak goring, telur ayam dan bawang putih terdeteksi turun.

Hal seperti demikian rentan terjadi karena restoran-restoran atau warung-warung semakin laris.  Dan tidak hanya itu, inflasi terjadi juga karena ada permainan dari segelintir orang. Itulah alasan pemerintah membuat aturan resmi yang menjamin ketersediaan, stabilitas dan kepastian harga dari beberapa komoditas bahan pokok strategis yaitu Permendag No 27/M-DAG/PER/5/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di petani dan harga Acuan Penjualan di konsumen.

Bukan hanya bahan pangan yang mengalami kenaikan harga, harga bahan sandang pun menjelang hari raya kian naik, karena melihat maraknya THR dan meningkatnya kegairahan orang-orang untuk memiliki pakaian baru, terutama pakaian wanita. Karena melihat juga semakin banyaknya ibu-ibu dan pemudi yang kini sedang berkobar semangatnya untuk mengikuti trend di zaman sekarang. Akan tetapi tak jauh berbeda dengan perempuan, lelaki pun banyak juga yang seperti itu.

Dari isu-isu menjelang Ramadhan ataupun lebaran tersebut menjadikan banyak sekali terjadi kericuhan di toko-toko, khususnya pasar yang mayoritas konsumennya adalah masyarakat menengah ke bawah. Stigma masyarakat yang ada menunjukkan bahwa dari para pedagang, khususnya pedangan barang pangan, sering kali terjadi adanya unsur penipuan dalam jual beli, yaitu dengan melebih-lebihkan harga yang sebenarnya. Demikian juga, meskipun tidak semuanya, masih ada pedagang yang masih menaikkan harga pasar melebihi bahan pasar, bahkan bisa jadi mencapai keuntugan 100%. Akibatnya, antara kedua belah pihak terjadi proses jual beli dengan suasana yang tidak diinginkan.

Melihat inflasi yang terjadi menjelang lebaran tersebut, maka harus ada pembahasan mengenai bagaimana cara mengatasi hal tersebut. Diantaranya, menegaskan kebijakan moneter yang merupakan kebijakan yang diambil pemerintah di bidang keuangan dengan tujuan agar dapat menjaga kestabilan moneter dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kemudian kebijakan yang lainnya bisa dari pihak pemerintah  untuk mengintruksikan penigkatan produksi barang. Hal ini dapat ditempuh dengan memberi premi atau subsidi para perusahaan atau produsen yang memenuhi target tertentu. Selain itu, pemerintah juga harus mempertegas kembali hukum yang telah tercantum, yaitu sesuai  dengan Permendag No 27/M-DAG/PER/5/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di petani dan harga Acuan Penjualan di konsumen.

Sedangkan dalam perspektif Islam, menjual barang dengan mengambil keuntungan yang berlebih atau bahkan melebihi 100% keuntungan dari harga asli, termasuk kezhaliman dari konsumen karena menyebabkan adanya unsur ghabn (pembodohan). Para ulama menggolongkan orang yang menjual barang lebih dari harga pasaran sebagai tindakan pembodohan. Sedangkan melakukan pembodohan dalam transaksi jual beli termasuk penipuan yang diharamkan dalam semua agama.

Menurut Syaikh Ibnu Baz, para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai batasan ghabn yang mempengaruhi keabsahan transaksi. Sebagian ulama mengatakan 1/3 bagian dari keuntungan dan ada yang mengatakan kurang dari itu. Namun, selama masyarakat menyebut itu pembodohan berdasarkan standar mereka, maka bisa berlaku sebagai pembodohan menurut pasar yang merugikan pembeli. Oleh karena itu, para pedagang hendaknya tetap memperhatikan kode etik sebagai pembisnis muslim. Dalam arti, tidak bernafsu meraup keuntungan karena bisa jadi hal ini yang memicu terjadinya tindakan ghabnWallahu ‘a’lam bi al-shawab.

Oleh: Indah Nur Fadlillah, Mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang

Posting Komentar

0 Komentar