Budaya
merantau kian melekat di kehidupan pelajar. Dapat disaksikan sendiri, mulai
dari pelajar SMP hingga mahasiswa, bahkan anak SD pun sudah banyak yang rela
hidup jauh dari kedua orang tuanya.
Di era
sekarang, banyak mahasiswa yang merantau untuk bisa kuliah di kampus yang
diidamkan. Dengan harapan, agar bisa sukses dan mempunyai kehidupan yang lebih
baik.Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang merantau jauh, menyeberangi pulau
tanah kelahirannya.
Namun sangat
disanyangkan, saat di perantauan, mereka malah melenceng dari niat awalnya.
Dulunya bertekad mau serius kuliah, menuntut ilmu, tapi sekarang malah asik
pada dunianya sendiri.
Bahkan dewasa
ini, sudah biasa dipandang mata bahwa banyak mahasiswa yang merantau hanya
untuk pindah tempat tidur saja atau dalam istilah jawa ngaleh nggon
turu. Waktu-waktu luang mereka malah digunakan untuk hal yang tidak
bermanfaat, seperti berkencan.
Realitanya
memang banyak mahasiswa yang berpasangan tanpa status halal. Pacaran dijadikan
sebagai prioritas utama, sehingga dengan tidak sadar, kuliah terabaikan dan
niat awal pun hanya tinggal kenangan. Fenomena ini tidak hanya dijumpai di
perguruan tinggi umum saja, perguruan tinggi Islam pun sudah mulai terjangkit.
Padahal,
hakikat merantau adalah menuju pembenahan diri, bukan hanya untuk menuju ke
tempat yang berbeda dan mencari pasangan di daerah itu. Komitmen dalam diri
perantau lebih dibutuhkan daripada hanya terbang kesana kemari, pindah-pindah
kota, tapi tidak membawa hasil yang nyata.
Jika perantau
hanya sekedar melangkah tanpa mengerti arah tujuan dan komitmennya, maka hidup
perantau tersebut layaknya kopi tanpa gula. Dilihat dari luar, kopi tersebut
terlihat sangat nikmat, tapi rasanya seakan membuat hidup menjadi tamat.
Niat,
konsistensi, integritas dan do’a menjadi dasar seseorang agar berhasil dalam
hajatnya, lebih-lebih saat merantau. Apabila perantau dapat mempertahankan empat
hal tersebut, in syaa Allah perantauannya tidak hanya sekedar pindah
tempat, namun akan membawa hasil yang diinginkan.
Dengan niat
yang kuat, pantang rasanya untuk mundur walau hanya selangkah. Kekuatan niat
ini diibaratkan seperti peluru yang ditembakkan untuk menghujam sasaran. Peluru
itu tak akan pernah kembali, ia terus menembus ke depan sampai pada batas
kecepatannya
Oleh karena
itu, apabila perantau, lebih khusus yang mahasiswa, telah lupa dengan niatnya,
maka tak ada arti lagi kehidupan mereka. Waktunya hanya digunakan untuk
berfoya-foya.
Dalam pandanga
Nabi Muhammad, orang nomor satu paling berpengaruh di dunia, melarang perilaku
berfoya-foya. “Jauhilah oleh kalian perilaku berfoya-foya karena sesungguhnya
hamba-hamba Allah tidak suka berfoya-foya” (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Berfoya-foya
bisa berarti menghambur-hamburkan uang (boros). Sangat memalukan, hidup masih
bertopang dengan tangan orang tua, mendapatkan uang hanya dengan cara meminta
kepada orang tua, lantas uang tersebut hanya digunakan untuk kesenangan
pribadinya.
Jika orang tua
yang memiliki finansial mungkin tidak terlalu bermasalah. Tapi terkadang, ada
beberapa mahasiswa yang ekonominya menengah ke bawah ikut terpengaruh dengan
budaya buruk tersebut, tanpa memperhatikan kondisi kedua orang tua mereka.
Meninggalkan
kampung halaman bukanlah suatu hal yang mudah, kita akan memulai beradaptasi
dengan situasi dan kehidupan yang baru. Ini merupakan tantangan
tersendiri bagi sang perantau. Rasa bosan, jenuh, galau, rindu, akan sering
menghampirinya.
Apabila rasa
itu telah datang, maka insting untuk pulang kampung pasti juga datang. Tak
peduli sejauh apapun kampungnya, seorang perantau akan berpikir bagaimana cara
supaya bisa pulang, meski harus menyebrangi tujuh pulau sekalipun, dan walau
itu hanya sekedar hayal.e
Jika
seseorang merasakan hal tersebut, maka kembalikan ke tujuan awal ia merantau,
bahwa merantau proses untuk meraih mimpi. Tanamkan dalam diri masing-masing
untuk bisa meraih impian yang diinginkan.
Demikian
beratnya tantangan para perantau. Untuk itu, Lupakan masa lalu, fokus ke masa
depan. Masa lalu hanyalah sebagai kenangan, sementara masa depan penuh dengan
harapan yang masih berupa misteri. Jadikan masa lalu sebagai pembelajaran
sedangkan masa depan sebagai motivasi.
“Kita adalah apa
yang kita lakukan saat ini. Yang lalu biarlah berlalu, tapi yang akan datang
bisa kita siapkan mulai sekarang.” Jika asal mula perantauannya hanya sebagai
ajang mencari ilmu, maka alangkah baiknya perantauan itu dijadikan sebagai
ajang hijrah diri kita. Sedikit banyaknya orang yang bakan merasakan
keadaan seperti ini, maka yakinlah, Allah Swt pasti akan memberi jalan. Wallahu
a’lam bi al-shawab.
0 Komentar