Header Ads Widget

Surat dari Dinda



Ini tentang sebuah kisah nyata

Tentang cerita aku, kamu, dia, dan mereka

Yang pada akhirnya,

kita pernah bersepakat untuk menjadi kita

BANTARA

Bukan jenjang kepramukaan dulu waktu SMA. Bukan pula jalur tanah di pinggiran sungai. Melainkan singkat nama yang kita setujui pada tiga februari silam nan terkenang. Berawal dari opsi kata, dilanjut musyawarah bersama, hingga pada akhirnya Babad Nusantara menjadi pilihan kita bersama.

Terdiri dari kata Babad dan Nusantara. Babad, kata Jawa yang kata Mangunsuwito dimaknai sebagai “hikayat, sejarah, cerita tentang peristiwa yang sudah terjadi”. Nusantara, kata yang Wan Usman memaknainya sebagai “suatu cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri serta tanah airnya sebagai suatu negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beraneka ragam.” So, sekarang kanda yunda tahu apa itu Babad Nusantara? Ia adalah kenangan kita, insan yang beragam pula.

Iya, beragam. Buktinya, Bandung kedatangan mas dan mbak dari Jawa, Uda dan Uni dari Minang, cut kak dan cut bang dari Aceh, Aa’ dan Teteh dari tetangga, dan banyak lagi. Bukti lain, nyatanya Afrika, Imam, Siregar, Reformasi, casadi dan spesies” lain bisa tertukar buah mulut, buah mata, bahkan buah jambu depan wisma. Haha

Banyak sekali memang cerita.

Teruntuk kawan seperjuangan,

312. Tiga angka itu yang mungkin akan menjadi alarm bagi kita. 31 januari kita awali perjuangan dengan pemantapan membaca kalam-Nya, hingga 02 februari ternyata kita kuatkan tekat kita mengakhiri cerita di Bandung untuk menyambut secercah kisah di Cimahi.

Dimulai dari rasa canggung kita bertatap muka, berhati-hati dalam mengawali bicara, bersikap tanggap ketika ada yang menyapa, hingga akhirnya kita berani bercanda tawa ria. Apakah kanda yunda juga merasakan hal yang sama?

Aku berharap, semoga sepuluh hari kita tidak hanya menjadi hitungan angka dan tidak juga menjadi rekayasa sementara. Aku berharap kita bisa berjodoh ke depannya. Jodoh dalam menjalin sinergitas kita utamanya. Toh jika ada yang berbiologis nantinya, itu adalah kebetulan rasa saja, yang datangnya tak lain adalah dari Tuhan kita semata, Allah Subhanahu wata’ala.

Memang begitu cepat detik berdetak, begitu tanggap menit melangkah, begitu lincah jam berputar, hingga terasa begitu egois hari melewati kisah kita. Semua begitu terasa indah. Seperti puan yang nampaknya saat ini sedang pasrah menahan rindu yang kian semakin parah. Menahan air mata tangis yang kian menepis. Memang Indah.

Namun sayangnya, keindahan yg kita narasikan bersama, kemesraan yang telah membalut kita, telah berlalu begitu saja.

Asal kau tahu saja, seringkali tangan dengan tak sadar menjalankan ponsel, mata tak sadar melihat obrolan WhatsApp, hingga hati tak sadar, ternyata ia menunggu dua centang biru tergambar tepat di pojok bawah grup angkatan yang tersematkan.

Maka, dengan penuh harapan, jadikan cerita ini menjadi sejarah (seperti yang pernah kita presentasikan kepada Master yang gagah). Jadi, bukan hanya HmI saja yang punya sejarah. Bantara pun punya.

Teruntuk Panitia,

tak banyak kami mengungkap kata. Kami hanya sediakan dua kata khusus kanda yunda panitia tercinta. Begitu banyak terima kasih dan mohon maaf kami sampaikan lewat tulisan ini. Pelayanan layak telah kami terima,  makan enak kami terima, trashbag hitam pun kami terima. Walau sebenarnya, terkadang ada gibahan di balik semuanya.

“Guys, makan udah ada belum?”,

“Mana nih, kopi dkk? Katanya mau disediain?”,

“Obatnya udah ada belum?”

Begitu kurang lebihnya. Hehe. Maka, dengan segala kerendahan hati kami, kami sangat memohon maaf kanda yunda panitia. Kami hanyalah makhluk biasa yang sangat jauh dari kata istimewa.

Laku antara kita mungkin agak menjengkelkan,  namun ternyata itu yang membuat kita bisa saling mengenang. Ibarat reformasi, meski tingkahnya langka, tapi konon katanya banyak yang merindukannya. Meskipun hanya rekayasa maya. (Jangan bilang orangnya ya)

Teruntuk Master of Training,

Ternyata kita pernah berdrama bersama, mas. Dan sepertinya prank menjadi kata penusuk kenangan kita. Karena saat ini, mungkin masih membekas dalam sanubari. Milad HMI pun menjadi saksi. Ku rela korbankan kaki, demi membaranya api di pucuk kue roti. Ku rela menahan tawa, demi mempertahankan sandiwara. Bahkan ku rela menajamkan mata ini, meski kau bertanya-tanya “ada apa ini?”

Mulai dari screening, ibarat semesta, kau langit, kami buminya. Bahkan aku dasar lautnya. Begitu banyak tugas googling untuk kami sebab ketidaktahuan kami.  Hingga putung dalam kopi setia menemani mereka yang menikmati, karena memang tak henti kami memperjuangkan screening ini. Maka, kepolosan kami, kekumelan muka kami, mohon kiranya engkau bisa memaklumi.

Banyak terima kasih kami sampaikan. Yang ibarat touring, jika aku ingin berjalan menyusuri dunia, dari Semarang ke arah selatan, hingga kembali ke Semarang dari arah utara. Itu artinya, jika pun bumi bulat, ibarat katulistiwa adalah jalannya. Coba bayangkan. Jauh sekali bukan?

Cimahi pun mungkin tahu, bahwa peristiwa kita di februari bukan hanya sekedar ilusi, melainkan rangkaian cuplikan yang berjajar rapi.

Dan untuk kamu, aku ciptakan satu puisi yang mungkin kamu membacanya, kamu akan bertanya-tanya “apa maksudnya?” Namun tak perlu banyak tanya, atau bahkan memikirkannya. Ini adalah halusinasi rasa yang sebenarnya memang diciptakan untuk ada. Puisi ini memang tercipta jauh dari kata luar biasa, namun diciptakannya dengan penuh rasa dan makna.

Karena mungkin aku bukan pujangga, yang rayuan sastranya selalu dinanti-nantikan jutaan manusia. Mungkin aku bukan penyair, yang karya uniknya selalu membuat hati luluh kemudian mencair. Aku hanyalah puan yang kian sepi, sebab tidak ada hadirmu di sisi. Maka, isyarat hati berkata, kau harus menerima karya ini dengan sepenuh hati.

Selengkapnya: puisi Dinamika Rasa

 Sumber: Baladena.id

Posting Komentar

0 Komentar