Header Ads Widget

Milenial Menghadapi Quarter Life Crisis (QLC)


Di zaman sekarang, khususnya bagi generasi milenial, perasaan cemas, ragu dan bingung dengan tujuan hidup seringkali dikeluhkan. Jika diprediksi, hal itu terjadi karena kurang siapnya generasi ini dalam menghadapi hidupnya, alias sifat kemandirian dan tidak tergantung lagi kepada orang tua dari segi finansial. Meski jika dilihat banyak di antara pemuda sekarang ini yang sudah menemukan karirnya, namun lebih banyak lagi pemuda yang sedang berpikir keras karena melihat karir hidupnya yang masih abstrak.  Maka, dalam ilmu psikologi muncul istilah Quarter Life Crisis.

Sesuai namanya, Quarter Life Crisis atau yang disingkat dengan QLC mengandung makna Krisis Seperempat Abad. Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan sebuah periode dalam kehidupan ketika seseorang sedang hidup di masa seperempat kehidupannya. Sehingga pada umumnya QLC ini diperkirakan terjadi ketika seseorang berusia kisaran 20 hingga 30 tahun. Bahkan tidak menutup kemungkinan, sebelum usia 20 pun sudah mengalami hal tersebut.

QLC diperkirakan muncul pada awal abad ke-19 pada masa postmodern. Pada masa itu, terjadi kemajuan teknologi yang sangat pesat. Terbukti dengan ditemukannya batu bara dan pabrik-parik yang mulai bermunculan. Hal ini berujung pada globalisasi serta peningkatan standar hidup masyarakat perkotaan sehingga menghasilkan banyaknya keperluan hidup yang harus dipenuhi. Belum lagi persaingan antar individu yang sengit. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Atwood dan Sclholtz dalam buku berjudul “Quarter Life Crisis” yang ditulis oleh Gerhana Nurhayati Putri.

Di antara ciri-ciri seseorang mengalami QLC yaitu, ketika orang tersebut merasa minder karena tidak bekerja atau bahkan belum mendapatkan perkerjaan pada bidang yang diinginkan, sehingga muncul perasaan bingung untuk memilih jalan yang akan dilakukan. Ciri lain, merasa insecure akan masa depan, meragukan semua hal, seperti karir dan kemampuan diri sering pula terjadi pada diri orang yang sedang dalam masa QLC ini.

Mungkin semua orang pasti pernah merasakan insecure. Bahkan disebutkan bahwa insecure merupakan perasaan yang normal terjadi pada setiap orang. Namun jika perasaan ini bertahan berlarut-larut hingga menggangggu aktifitas sehari-hari atau bahkan mempengaruhi kesehatan, maka kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Bersegaralah konsultasi dengan psikolog atau ahlinya.

Tidak hanya itu, pada fase Quarter Life Crisis ini kebanyakan orang juga suka membanding-bandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain, kemudian ia merasa masih tertinggal jauh, merasa terlalu stress atau terisolasi yang semua itu terjadi karena ia tidak sedang dalam menjalani hidupnya. Biasanya kondisi ini akan membuat kita menyadari bahwa ada suatu hal yang harus diubah dalam hidup, namun kita tidak tahu apa dan bagaimana cara untuk memulainya. Keadaan tersebut akan membuat dia merasa kebingungan dan kesepian.

Dalam kehidupan sehari-hari, dapat menjadi analisa bersama, kegiatan apa saja yang menyebabkan seseorang mengalami fase ini. Di zaman yang sungguh modern, hampir sudah tidak ada yang tidak mengetaui gadget. Nenek dan kakek pun bahkan mengetahui sebab melihat cucu-cucunya yang sekarang sibuk dengan dunia mayanya sendiri. Ia gunakan alat ini untuk mengakses berbagai macam konten, bermain media social, bermain game dan lain sebagainya, yang tanpa disadari hal tersebut ternyata telah membuang waktu emasnya tanpa mengasilkan sesuatu. Terkadang ia sering mengeluh, tetapi tidak melakukan apapun untuk menyelesaikan masalah yang ada. Dan ujung-ujungnya, ketika telah sadar, hanya ada kata penyesalan dalam dirinya.

Setelah kebiasaan-kebiasaan ini telewati, orang mulai menyadari dan berfikir bahwa perubahan bisa saja terjadi. Keinginan untuk membangun kembali hidup yang baru dengan semangat yang baru mulai bermunculan. Berbagai macam cara ia lakukan untuk mengejar ketertinggalannya. Maka, ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam menghadapi Quarter Life Crisis. Diantaranya, mengenal diri sendiri. Apa tujuan hidup, apa cita-cita, dan bagaimana karakternya, harus ia kenali secara mendalam terlebih dahulu. Kedua, hindari memendam kegelisahan dalam diri. Karena semakin banyak orang yang mengetahui kegelisahanmu, maka semakin banyak pula advice yang kamu dapat. Tapi sebagai catatannya, Allah nomor satu, dan memilih orang kepercayaan juga perlu.

Namun selain itu, karena milenial juga bisa dibilang sebagai generasi penerus bangsa Indonesia, maka sudah selayaknya pemerintah Indonesia juga memikirkan hal ini. Bagaimana para generasi milenial ini berdayakan sehingga minimal menjadi generasi pejuang dan penerus, bukan hanya generasi penikmat saja, apalagi hanya sekedar sebagai generasi pemboros. Karena jika kita telusuri lebih dalam, sebenarnya banyak potensi yang bisa dihasilkan oleh generasi milenial jika mereka ingin bersatu, bekerja sama dan bersinergi untuk membangun Indonesia yang lebih maju.

Oleh karena itu, mari mencoba menginovasi hidup yang baru. Masih ada banyak cara yang nantinya akan muncul dari dirimu, jika ingin memperjuangkan itu. Jangan sampai kita berlama-lama terjebak dalam situasi krisis ini. Karena krisis yang mempertanyakan kualitas hidup dan identitas diri ini ternyata bisa berdampak buruk terhadap hidup. Hal ini dapat mempengaruhi kinerja dan semangat hidup, sehingga kita tidak boleh berdiam diri dan harus segera bangkit dari keraguan. Dan yang harus diingat, segera beraksi akan lebih membawa perubahan dibandingkan dengan hanya sekedar berteori. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Sumber: Baladena.id


Posting Komentar

0 Komentar