Sejak tahun 2015, Presiden Joko Widodo telah menetapkan tanggal 15 Oktober sebagai peringatan Hari Santri Nasional. Penetapan Hari Santri Nasional dimaksudkan untuk mengingat dan meneladani semangat jihad para santri merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang digelorakan para ulama pada masa perjuangan KH. Hasyim Asy'ari terdahulu. Pada zama itu, para santri memilih tinggal di pesantren dan rela meninggalkan keluarganya demi menyempurnakan keimanan, mencari ilmu dan berjuang bersama sang Kiai.
Namun, selama ini paradigma yang terbangun di
kalangan masyarakat luas adalah mereka menyebut orang yang tinggal di pesantren
adalah seorang santri dan tidak memandang kegiatan apa saja yang dilakukan saat
di pesantren, baik positif maupun negatif. Padahal, realita menunjukkan tak
sedikit orang yang mengaku dirinya santri atau orang yang pernah tinggal di
pesantren, namun mereka memperlihatkan kepribadian dan sikap yang tidak islami.
Maka, secara substansial, makna santri ini harus diperjelas kembali, bukan
hanya berdasarkan status tempat tinggalnya saja, namun juga hakikat maknanya.
Istilah santri diambil dari bahasa sansekerta
"sastri" yang berarti "melek huruf" atau "bisa
membaca". Hal ini seperti yang dikemukakan oleh M. Habib Mustopo dalam
bukunya yang berjudul Kebudayaan Islam di Jawa Timur. Selain itu, C.C. Berg
juga berpendapat bahwa istilah “santri" berasal dari kata shastri, yang
dalam bahasa India berarti "orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama
Hindu". Dan perlu diketahui, bahasa sanskerta pernah digunakan di
Nusantara pada masa Hindu dan Buddha yang berlangsung sejak abad ke-2 Masehi
hingga menjelang abad ke-16. Maka tidak menutup kemungkinan istilah santri
memang diambil dari kata tersebut.
Nurcholis Madjid lewat buku "Bilik-bilik
Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan" menautkan pendapat tersebut dengan
menuliskan bahwa kata “santri" bisa pula berasal dari bahasa Jawa, yakni
cantrik yang bermakna "orang atau murid yang selalu mengikuti
gurunya". Oleh karena itu, dari beberapa pendapat mengenai arti santri
yang telah dikemukakan di atas, boleh jadi akan muncul pertanyaan "apakah
orang yang yang tidak melek huruf, orang yang tidak mempelajari kitab suci
(al-Qur'an) dan orang yang tidak mengikuti instruksi dari gurunya tidak bisa
dikatakan sebagai santri?
Dalam hal ini, maka antara julukan santri dan
hakikat santri yang sesungguhnya harus diselaraskan supaya tidak terjadi
ketimpangan. Melek huruf atau bisa membaca menjadi suatu hal yang sudah
seharusnya dimiliki oleh santri. Apalagi di kalangan pesantren, sistem
pembelajaran yang dipakai adalah memaknai kitab-kitab karangan para ulama'
terdahulu atau yang biasa dikenal dengan sebutan kitab kuning. Selain warna
kertasnya yang kuning, ciri khas lain dalam kitab tersebut yaitu kitab gundul
(tidak berharakat).
Disisi lain santri harus mempelajari kitab suci
yakni al-Qur'an. Karena al-Qur'an bagi umat manusia, khususnya santri, ibarat
samudra. Banyak sekali hal-hal yang bisa ditemui di dalamnya. Sedangkan santri,
ibarat orang yang sedang mencari ikan di dalamnya. Dan jika dianalisis bersama,
seseorang tidak akan menemukan ikan dalam samudra yang luas jika ia tidak
memiliki alatnya. Akan menjadi hal yang amat mustahil jika ia hanya
mengandalkan tangan kosongnya. Satu dan dua ikan mungkin bisa didapatkan. Namun
untuk mengambil sejuta ikan yang beragam dari samudra tersebut, sangat mustahil
rasanya jika alat yang bagus dan strategi yang benar belum ia gunakan.
Ilmu alat (nahwu dan sharaf) adalah alat untuk
menangkap ikan sedangkan logika dan penguasaan kosa kata adalah strategi yang
harus dilakukan. Karena dengan menguasai ilmu alat saja tidak cukup. Hal itu
harus diimbangi dengan logika yang benar. Dan untuk memudahkan memahami teks
arab yang kita sebagai orang non Arab, maka menguasai bahasa Arab juga harus
diupayakan. Dengan begitu, dalam memahami kitab suci al-Qur'an akan terasa
mudah dan menyenangkan. Begitu juga dalam memahami kitab-kitab kuning yang
diajarkan di pesantren, santri akan merasa mendapatkan banyak hal, sehingga
yang dipikirnya pun tidak hanya soal makan, tidur dan dolanan.
Tidak kalah penting, hal ke-tiga yang harus
dilakukan seorang santri adalah mengikuti apa nasihat guru, yang dalam
pesantren pada umumnya sering dikenal dengan istilah "sami'na wa
atha'na". Namun dalam hal ini pula, terkadang ada yang memahaminya terlalu
tragis. Maka, tak heran jika sampai muncul anekdot ketika sang Kiai menyuruh
santrinya nyemplung sumur alias mencebur dalam sumur, maka pastilah santri
tersebut akan mengikuti apa yang telah diintruksikan oleh Kiainya. Meski demikian,
paradigma para santri terkait hal tersebut sangat perlu untuk diluruskan. Bahwa
tak cukup hanya dengan mendengarkan dan menaati pengasuh pesantren saja(sami'na
wa atha'na), namun harus mendengarkan, mengetahui, dan jika hal itu benar dan
masuk akal, sudah sepatutnya kita menaatinya (sami'na, wa 'arafna, wa
'atha'na).
Pada hakikatnya, santri memiliki peran besar
dalam kemajuan umat Islam. Apalagi melihat usia santri yang rata-rata berada
pada masa produktif. Hal ini sangat memungkinkan Islam akan mengalami kemajuan
jika generasi-generasinya sadar akan tugasnya sebagai umat, yaitu jihad fii
sabilillah. Maka, sebagai santri, hal utama yang harus dilakukan adalah
menyadari hakikat ia sebagai santri, lalu menguasai ilmu alat, kemudian membaca
sekaligus memahami makna al-Qur'an dan kitab-kitab kuning. Setelah itu,
syariat-syariat Islam yang telah dipelajari tadi, sudah sepantasnya ia amalkan
dan bisa sebagai bahan ajar untuk berdakwah.
Memang terasa sangat sulit melihat tantangan santri pada masa kini. Namun hal ini
tidak bisa jika diterus-teruskan. Harus ada alat pemutus untuk memutus
kesalahan serta kekhilafan santri-santri. Bahwa menjadi santri itu memang
penting, namun jangan lama-lama. Dalam artian, bersegeralah mencapai idealitas
seorang santri seperti yang telah diungkapkan di atas. Sehingga status yang
tadinya adalah santri, bisa naik tingkat menjadi ustadz (pengajar). Itu adalah
salah satu contoh peran penting santri, yaitu mencerdaskan.
Tidak hanya itu, sebagai umat Islam, tidak hanya
hal ukhrawi saja yang diperhatikan. Duniawi pun dirasa sangat penting.
Bagaimana mungkin negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim,
kalah dengan negara-negara yang mayoritas penduduknya non muslim dalam hal
pengetahuan dan teknologi misalnya. Oleh karena itu, setelah keluar dari
pesantren, para santri tidak hanya sekadar merasa bangga dengan statusnya,
namun mereka sangat diharapkan menjadi generasi yang dapat mengalahkan
negara-negara maju dan dapat membangun negara yang berperadaban. Sehingga,
santri itu nantinya tidak semuanya menjadi kyai di pesantren atau bahkan
pengangguran, namun juga ada di segala bidang keilmuan. Dengan begitu,
sinergitas akan berjalan dan generasi berkualitas akan terus berkembang. Wa Allahu a'lamu bi al-shawaab.
0 Komentar