Header Ads Widget

Menjaga Komunikasi Interpersonal di Era Corona


Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa terlepas dari komunikasi. Baik komunikasi verbal maupun non verbal, secara langsung maupun tidak langsung, dan secara individu maupun kelompok. Begitu pula pada masa Pandemi Covid-19 atau lebih populer dengan Virus Corona ini, semua orang tetap memerlukan komunikasi. Tetapi diakui maupun tidak, ternyata keberadaan pandemi ini membawa dampak besar bagi berjalannya komunikasi antar sesama khususnya komunikasi interpersonal.

Perlu kita ketahui, komunikasi interpersonal sendiri merupakan komunikasi yang melibatkan dua orang atau lebih dengan pengiriman pesan-pesan dari komunikator ke komunikan dengan efek dan umpan balik yang langsung. Sedangkan jika dilihat efek dari adanya Virus Corona ini, banyak pembatasan-pembatasan yang ditetapkan pemerintah untuk mencegah tersebarnya virus Corona. Mulai dari social distancing, phisichal distancing, penetapan lockdown, dan lain sebagainya.

Sebuah survei dilakukan oleh Snapcart untuk menilik seberapa besar dampak yang dibawa oleh virus corona terhadap gaya hidup orang Indonesia. Survei tersebut dilakukan pada 17-28 Maret 2020, yang melibatkan 2000 laki-laki dan perempan berumur 15-50 tahun di 8 kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Makassar, dan Manado), menunjukkan bahwa pandemi virus corona berdampak paling besar terhadap kehidupan sosial masyarakat. (liputan 6.com)

Pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut mungkin bukan menjadi masalah besar dalam komunikasi. Karena selain adanya komunikasi interpersonal, juga terdapat komunikasi massa, yang akses komunikasinya bisa untuk khalayak umum. Apalagi sekarang teknologi sudah canggih, maka komunikasi pribadi pun bisa dilakukan di media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, dan lain-lain, yang membuat komunikasi interpersonal yang berbentuk kelompok kecil bisa berjalan.

Namun demikian, hal itu dirasa menyebabkan hubungan antar perseorangan menjadi jauh. Dari survei yang dilakukan oleh Snapcart, sebanyak 48 persen responden mengaku bahwa kehidupan sosial mereka terganggu akibat Covid-19. Sedangkan Gubernur New York, Andrew Cuomo, menyebut isolasi di rumah dan menerapkan jarak dari sesamanya akan membuat tekanan psikologis. Apalagi, bagi mereka yang memiliki trauma. Maka, tak jarang pula masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan hidup gotong royong dan kentalnya interaksi sosial berusaha mencari jalan keluar untuk tetap melakukan sosialisasi meski ada kebijakan physical distancing.

Namun sebaliknya, seperti yang dikatakan oleh Dr Maria Kerkhove, Ahli Epidemiologi WHO mengatakan bahwa komunikasi bisa berlangsung melalui berbagai media sosial agar tetap terhubung dengan orang lain. Karena kesehatan mental seseorang sama pentingnya dengan kesehatan fisiknya. Hal ini membuktikan bahwa, sosialisasi dan komunikasi antar sesama sangat dibutuhkan.

Bahkan sejumlah ahli berasumsi bahwa apabila seseorang terlalu lama dalam kesepian atau perasaan terisolasi dapat menyebabkan kecemasan, depresi dan demensia pada orang dewasa. Respons sistem kekebalan tubuh yang melemah, tingginya tingkat obesitas, tekanan darah, penyakit jantung, dan harapan hidup yang lebih pendek juga dapat menjadi faktor berpengaruh, meski tidak semua orang memiliki karakteristik yang seperti itu, termasuk pula seperti apa yang dikatakan oleh Andrew Cuomo. (waspada.co.id)

Sedangkan pada anak-anak yang biasanya ia dibebaskan bermain atau bersosial dengan temannya, jika apabila di masa pandemi ini terpaksa ia harus menjaga jarak dengan orang lain, khususnya temannya, maka hal itu bisa menjadi tekanan bagi dirinya pula jika tidak mendapat hal penggantinya. Namun masalahnya, kebanyakan orang tua menggantikan hal itu malah dengan memberikan anaknya handphone. Sedangkan jika orang tua lepas kontrol dalam pengawasan terhadap anaknya, tidak menutup kemungkinan handphone yang telah ia hibahkan kepada anaknya akan dimanfaatkan  untuk bermain.

Padahal, tak sedikit juga orang tua yang mengeluh karena kebiasaan anaknya yang tidak bisa terkendali ketika bermain game di handphonenya. Maka, sebagai seorang yang mempunyai simpati kepada anak, meski sedang dalam pandemi Corona, sudah selayaknya kita mengontrol perkembangan otak dan tubuhnya dengan baik, sehingga ia tidak mengalami penyesalan dalam hidupnya nanti

Oleh karena itu, melihat kondisi yang di era Corona ini kian meradang, maka sudah seharusnya kita melakukan hal-hal yang dianjurkan oleh pemerintah ataupun instansi kesehatan sebagai upaya pencegahan virus Corona. Seperti tetap menjaga jarak, memakai masker, sedia handsanitizer, atau bahkan tetap di rumah saja meski masa New Normal. Tindakan-tindakan sederhana tersebut kita lakukan. Hal ini dilakukan sebagai wujud antisipasi kolektif, tindakan melindungi diri dengan memastikan orang-orang di sekitar kita juga terlindungi. Selain itu, sikap seperti ini juga merupakan cermin dari etika sosial kita terhadap sesama, bahkan dalam kondisi genting sekalipun.

Wabah corona memang menjadi ketakutan kita bersama. Namun, jangan sampai wabah ini merenggut cara kita memanusiakan sesama. Selain mengedepankan aspek materiil, aspek non materiil juga perlu dipelihara seperti etika sosial kita terhadap sesama yang tercermin dari sikap peduli, saling pengertian, dan aware dengan lingkungan sosial kita. Hubungan sosial memang sangat diperlukan tidak hanya untuk memerangi pandemi, tetapi untuk membangun kembali dan memulihkan diri. Namun, apapun istilah kata yang dipakai, yang terpenting mari sama-sama berdo'a  pandemi Corona ini segera berakhir. Wa Allahu a'lam bi al-shawaab.

Sumber: Baladena.id

Posting Komentar

0 Komentar