Header Ads Widget

Perjalanan Abana Menghafal al-Qur’an

Menghafal al-Quran merupakan amalan yang mulia. Segudang keutamaan telah dijelaskan oleh Allah ta’alaa, baik di dalam al-Quran itu sendiri maupun melalui lisan Rasul-Nya Muhammad Saw. Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari, Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” Akan tetapi, kebanyakan orang beranggapan bahwa menghafal al-Qur’an merupakan hal yang amat sulit, sehingga mereka berputus asa sebelum memulai, ibarat prajurit yang menyerah sebelum terjun ke medan perang.

Namun demikian, berbeda dengan seorang penghafal al-Qur'an yang satu ini, sosok bergelar doktor bernama Mohammad Nasih beranggapan bahwa menghafal al-Qur’an itu mudah. Pernyataannya itu sesuai dengan firman Allah SWT yang diulang beberapa kali dalam al-Qur’an, bahwa Dia telah memudahkan kitab-Nya untuk dihafal dan dipahami, sesuai firman-Nya yang berbunyi:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur`ân untuk (menjadi) pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?" (QS. Al Qomar: 17, 22, 32, 40).

Kebanyakan orang mengenal Mohammad Nasih sebagai sosok penghafal al-Qur’an yang sekaligus memahami arti dan maknanya. Anggapan itu tidak salah, karena faktanya demikian. Menurut Abana, menghafalkan al-Qur’an dengan tidak mengerti artinya membutuhkan tenaga tujuh kali lipat, bahkan bisa lebih. Untuk menjelaskan ini, biasanya Mohammad Nasih sering memberikan ilustrasi dengan menguji orang untuk mengikuti perkataannya.

Abana meminta orang mengulangi kalimat yang diucapkannya dengan bahasa Latin: "Ibis redibis numquam peribis in armis". Alhasil, rata-rata orang bisa menirukan perkataan tersebut setelah diulang sebanyak tujuh kali.  Itu pun hanya segelintir orang. Berbeda ketika orang itu diminta mengulangi kalimat yang Abana ucapkan dalam bahasa Indonesia: "Saya datang ke sini pagi-pagi untuk belajar al-Qur'an." Sontak, sekali diucapkan Abana, orang langsung bisa menirukan. Padahal, kalimat dalam bahasa Latin itu berjumlah 6 kata, sementara kalimat dalam bahasa Indonesa berjumlah 9 kata. Lalu kenapa, orang bisa lebih cepat hafal yang sembilan kata? Tepat, karena ia paham maknanya.

Hal itu tampak sepele, tetapi sepertinya sering tidak disadari banyak orang. Karena itu, menjadi menarik ketika mengulas bagaimana perjalanan Abana dalam menghafalkan kalam Tuhan tersebut. Apa memang mudah, semudah membalikkan telapak tangan, atau memang sulit sebagaimana anggapan banyak orang? Atau bagaimana? Mari kita cari tahu dan pelajari selengkapnya.

Mohammad Nasih yang sudah akrab dengan panggilan “Monash” berhasil mengkhatamkan hafalan al-Qur’an dengan kurun waktu kurang dari dua tahun, lebih tepatnya 1.5 tahun, dengan statusnya sebagai pelajar SMA dan seorang santri di pondok pesantren. Waktu yang relatif singkat untuk menghafal al-Qur'an, yang jamak ditempuh dalam waktu tiga sampai empat tahun penuh.

Asal-usul panggilan Monash sendiri didapat dari teman-temannya ketika ia masih menjadi santri di sebuah pesantren di Rembang. Singkat cerita, berawal dari "kebiasaan" ghasab yang sering terjadi di Pesantren, membuat Mohammad Nasih berinisiatif memberi ukiran pada sandalnya yang bertuliskan “MO” di sandal kiri dan “NASH” di sandal kanannya, hingga pada akhirnya nama “MONASH” menjadi julukan untuknya yang hingga sampai sekarang dijadikan sebagai nama rumah perkaderan yang ia dirikan, yaitu Monash Institute.

Kembali ke perjalanan menghafal al-Qur’an Mohammad Nasih. Abana menghafal al-Qur'an dimulai sejak ia berada di pesantren Annur Lasem, Kabupaten Rembang. Memang ia terlahir dari orang tua yang hafal Qur’an. Bapak Mudzakir dan Ibu Hudzaifah, keduanya merupakan hafidh dan hafidhah. Maka dari itu, tak kaget jika orang tuanya menyuruh atau bahkan menuntut dirinya sejak kecil untuk menghafal al-Qur’an.

Namun anehnya, ia tidak menghafal al-Qur'an sejak kecil di rumahnya. Satu cerita, bahkan Abana pernah tidak hafal Yasin ketika diminta muhafadhah di sekolahnya. Hingga akhirnya, bapaknya marah dan menghardiknya. Abana pernah bercerita, kalau sedang marah, bapaknya selalu pakai bahasa Indonesia. “Masak kamu kalah sama anaknya tukang ngarit? Malu-maluin bapakmu saja, ” begitu katanya. Bukan berarti Pak Mudzakir tidak ngarit, ia ngarit juga, tetapi memang ia adalah seorang kepala desa yang hafal al-Qur'an. Dengan kata lain, ungkapan Pak Mudzakir tersebut adalah ungkapan kekecewaan atas "kegagalan" Monash kecil.

Dari perkataan Pak Mudzakir tersebut, Mohammad Nasih kecil mulai sedikit merasa bersalah kepada bapaknya, karena ia belum mau mengahafalkan al-Qur’an seperti apa yang telah bapak inginkan. Tentu bisa dibayangkan, mengapa Abana dulu tidak menghafal al-Qur’an di rumah saja, setoran hafalan kepada bapak dan ibunya ya? Lalu mengapa ia lebih memilih menghafal ketika sedang menghuni di pesantren?

Menurut Abana, menghafal al-Qur’an, supaya ayat-ayat yang dihafal cepat masuk dalam ingatan, selain kita paham atau mengerti makna ayatnya, kefokusan otak yang mendalam juga diperlukan. Fokus adalah syarat yang tidak bisa dinafikan ketika orang menghafal, menghafal apapun itu. Apalagi menghafal al-Qur'an yang menggunakan bahasa Arab, tentu bagi orang A'jam seperti muslim di Indonesia, mereka membutuhkan keterfokusan yang sangat tinggi. Karena itulah, Abana memilih menghafalkan al-Qur'an di pesantren, keluar dari kampung halamannya.

Bayangkan saja, jika ia dulunya memilih menghafal dengan menetap di rumah, pasti akan ada hal lain juga yang harus iya kerjakan. Misalnya saja, tak bisa dipungkiri ketika kita sedang enak-enaknya mengaji, eh tiba-tiba ibu menyeru: “Cung, tolong ibu ambilkan kayu bakar di belakang rumah.” Begitu salah satu contohnya. Dan mungkin hal tersebut tak hanya sekali atau dua kali terjadi, bahkan mungkin akan terjadi setiap hari. Karena memang seorang anak memiliki kewajiban tersendiri untuk senantiasa membalas budi orang tuanya. Ia harus nurut perintah orang tuanya, selagi baik.

Beda lagi jika hidup di pondok, ia akan lebih bisa fokus dalam melakukan proses pembelajarannya, karena memang ia hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Dia tidak akan "digganggu" oleh siapapun, termasuk orang tuanya. Begitu sekilas alasan mengapa Mohammad Nasih sering menyelipkan pesan dalam ceramahnya kepada hadirin untuk senantiasa memondokkan anaknya dari sejak usia kecil.

Selain fokus, motivasi juga diperlukan untuk seseorang menempuh segala sesuatu, selain niat tetap lillahi ta'ala tentunya. Tidak terkecuali dalam menghafalkan al-Qur'an, seseorang juga motivasi yang memberikan semangat dalam dirinya. Selain ingat hardikan bapaknya waktu Abana kecil, motivasinya untuk menghafalkan kalam ilahi itu memuncak ketika Pak Mudzakkir dipanggil ke rahmatullah. Waktu itu, Monash remaja menginjak semester genap kelas X di MAN Lasem.

Ia merasakan kekecewaan yang luar biasa pada dirinya. Sebab, ia merasa belum bisa menuruti apa yang diharapkan oleh bapaknya, terutama dalam hal menghafal al-Qur’an. Duka bercampur atas kehilangan bapaknya bercampur jadi satu dengan penyesalan belum selesainya hafalan al-Qur'annya di kala bapaknya masih hidup. Namun demikian, ia menyadari bahwa hidup harus terus berjalan.

Orang yang sangat dicintainya dan sangat berjasa dalam hidupnya memang telah pergi terlebih dahulu menghadap Sang Khaliq, tetapi Monash yakin bapaknya akan bahagia di sisi-Nya, karena ia menghadap Tuhan dengan membawa al-Qur'an. Ghirah dalam diri Monash untuk menyelesaikan hafalan pun menggebu-gebu. Dia menghabiskan siang dan malamnya untuk membaca, memahami, dan menghafal al-Qur'an. Tentu saja di sela-sela aktivitasnya sebagai seorang santri pondok salaf dan pelajar SMA.

Memang, semua itu tidak mudah untuk dilakukan. Perlu daya tahan fisik dan mental, juga kemampuan mengatur waktu agar semuanya bisa berjalan seimbang, sehingga lebih banyak pengetahuan berpadu untuk bisa memahami keluasan Islam. Maka dari itu, bagaimana pun caranya, Abana bersikeras untuk menyeimbangkan antara keduanya, meski waktunya lebih banyak ia habiskan di pesantren, daripada di sekolahan.

Untuk diketahui, Pondok Pesantren Annur Lasem saat itu bukanlah pesantren Tahfidh al-Quran, tetapi pesantren salaf yang mengajarkan kitab-kitab kuning, sehingga membuat Monash harus berpikir ekstra bagaimana ia bisa fokus menyelesaikan hafalan dengan tepat waktu sekaligus tetap konsentrasi dengan pelajaran kitab di pesantren. Namun, di situlah Abana justru menemukan sesuatu hubungan yang sangat sinergis antara menghafal dengan kajian di pesantrennya, yakni ketika belajar Tafsir Jalalain. Hasil pemahaman ngaji dari kitab tersebut yang dibacakan oleh kiainya, mempermudah dia dalam menghafalkan al-Qur'an.

Namun demikian, pondok kitab tetaplah pondok kitab. Dia berbeda dengan pondok Tahfidh al-Qur'an. Karena itu, melihat lingkungan yang kurang mendukung untuk dirinya fokus menghafal al-Qur’annya agar segera selesai—salah satu cerita yang sering diulang-ulang oleh Abana—ia banyak menghabiskan waktu untuk mengaji, baik untuk menambah hafalan maupun mengulang hafalan, di area makam Mbah Sambu dan Mbah Ma’sum, yaitu wali Allah yang dimakamkan persis di belakang Masjid Jami’ Lasem, Rembang.

Bisa dibayangkan, jikalau seseorang berdiam diri di pemakaman dengan waktu yang tidak singkat apalagi di malam hari, kebanyakan pastilah ada rasa cemas dan tidak nyaman dalam dirinya. Boro-boro mengaji di sana, hanya lewat saja bisa membuat bulu kuduk berdiri, intonasi detak jantung menjadi-jadi, hingga langkah kaki yang tak bisa terhenti. Namun, berkat keteguhan hati dan jiwanya, Abana berhasil menikmati segala kesunyian di makam itu dengan lantunan ayat-ayat al-Qur'an yang dibacakannya.

Tidak berhenti di situ, karena PP Annur bukan pesantren Tahfidh al-Qur'an, tentu ia tidak bisa menyetorkan hasil hafalannya di sana. Karena itu, ia harus pulang ke kampung halamannya untuk menyetorkan hafalan tersebut kepada Ibundanya, Bu Khudzaifah. Itu dilakukan dengan istiqamah dan penuh cinta.

Tetap Menjadi Bintang

Mohammad Nasih memang bisa dibilang berbeda dengan santri yang lain. Meski ia banyak keluar gerbang pesantren untuk menghafalkan al-Qur'an, Monash tetap menjadi "bintang" di pesantrennya. Monash seringkali diajak diskusi oleh pengasuh pondoknya, yaitu KH. Mansur Kholil (Abah Gus Qoyum Lasem) setelah pengajian ba’da Isya’ yang biasanya berlangsung sampai jam sebelas malam. Mungkin hal itu juga yang menjadikan Monash terlihat istimewa di mata santri-santri lainnya. Nah, pasca diskusi itulah, ia meluncur ke makam Mbah Sambu. Sesekali kalau sedang tidak mood diskusi, ia langsung menuju makam sesaat setelah ngaji malam selesai sebelum kiainya memanggil.

Rutinitas yang demikian ia nikmati sebagai sebuah kesempatan. Tentu tidak mudah. Bukan hanya itu, setiap ada kajian bakda Shubuh yang juga dihadiri warga kampung Soditan, yang biasanya baru bisa dimulai pukul 05.00 WIB sampai dengan pukul 06.30 WIB, Monash harus bersiasat lagi. Sebab, ia harus sekolah pukul 07.00 WIB. Ia tidak kehahabisan akal. Agar tidak terlambat sekolah, setiap sebelum Shubuh ia harus sudah mandi. Jadi, ketika ia mengikuti agenda ngaji bakda Shubuh itu, ia sudah siap dengan pakaian khasnya, yaitu memakai seragam sekolah yang diblebet dengan sarung.

Dengan jarak antara pesantren dan sekolah 1 KM yang kira-kira membutuhkan waktu 15 menit untuk menempuhnya, Monash bisa memastikan diri tidak terlambat ke sekolah. Tidak jarang, ia setengah berlari agar juga bisa olahraga dan tidak terlambat. Sebab, baginya, datang terlambat itu sangat memalukan. Karena itu, dia sangat disiplin dalam menjalani hari-hari hidupnya, hingga sekarang. Seperti itulah lika-liku Abana Mohammad Nasih melalui masa-masa menghafal al-Qur’an.

Semoga kita dapat mengambil pelajaran dalam setiap kisah dari Abana Mohammad Nasih di atas. Bagaimana, menghafalkan al-Qur'an mudah atau sulit? Tidak ada yang mudah bagi orang yang tidak memiliki kemauan keras dan komitmen tinggi. Begitu juga tidak ada yang sulit bagi orang yang memiliki keduanya. Semoga kita termasuk golongan yang terakhir. Wallahu a'lam bi al-shawaab.

Editor: Anzor Azhiev

Sumber: Baladena.id

Posting Komentar

0 Komentar